Sabtu, 08 September 2007

Siapakah Api Itu !!!!!!!

Menyala dan Berkorbar Membakar Harapan

Pontianak, Gunui’ Inside Ruai
Hari itu merupakan Hari Peringatan Masyarakat Adat se-Dunia. Langit terlihat cerah, suasana alam masih lengang dan bumi menggelinding tersengat mentari yang merah menyala. Ketika banyak aktivist sedang menggelar ceremoni hari Masyarakat Adat se-Dunia dan yang lainnya sedang melepas lapar dan dahaga untuk istirahat siang. Sehingga saat itu kantor kami benar-benar sepi bahkan bibir seakan kelu untuk bicara. Hawa panas mentari menghalau rasa pikiran yang tak menentu sehingga suasana semakin tak nyaman. Kami bersepuluh masih berkutat dengan aktivitas kami yang terbilang tinggi. Saat yang sama kami ingin meraih kenyamanan sehingga ada yang menonton dan ada yang mendengar musik. Sementara saya yang masih duduk kaku di kursi kerja memilih berjalan ke ruang belakang. Kebetulan ada telpon masuk sehingga perlu suasana pikiran dan hati yang tenang untuk menjawabnya. Saya melangkah gontai dan agak terburu memasuki gudang tua kantor kami. Beberapa menit kemudian terdengar suara gaduh yang agak sulit dicerna. Sesaat kemudian tiba-tiba dua orang aktivis, Sufi’i dan Thomas melangkah keluar mengangkat motor Tiger milik Benyamin salah seorang Aktivis yang sedang berada di lapangan. Merasa aneh sayapun bertanya dengan teriakan,”ada apa Pak Mi (Panggilan Sufi’i)?,” tanya saya. Tetapi pertanyaan itu tak digubris dan mereka terlihat kian panik sehingga saya bingung. Karena motor trersebut sangat berat, tiba-tiba motor tersebut tumbang dan menimpa Thomas, sehingga akhirnya saya putuskan membantu mereka. Saya berlari berniat membantu seraya menahan kebingungan yang bersarang di benak. Ketika sedang berlari saya bertabrakan dengan Hawad, salah seorang aktivist yang juga terlihat panik luar biasa, kembali saya bertanya,”Ada apa bang?,” tanya saya masih bingung. Hawad hanya berguman dengan jawaban tak jelas sambil ia berlalu pergi begitu saja dengan kepanikannya yang luar biasa. Hal ini terlihat jelas digurat wajahnya. Saya menuju areal pencucian kantor dan berniat membantu mereka mengangkat motor. Seperti bibir yang sangat kaku, sambil gemetaran Pak Mila mengatakan,”Kriss kebakaran.....?!,” katanya masih linglung dan panik.
Tanpa banyak kata dan tanya saya melompat masuk ke dalam ruangan kantor. Saat menengadah ke atas saya melihat api layaknya air bah yang datang dari langit mau turun ke bumi. Saya kaget, panik, bingung, kacau, tidak percaya, takut dan marah bercampur menjadi satu. Saya tak berdaya melihat kenyataan ini dan ambil langkah seribu menuju pendopo depan. Saat berhasil melewati pintu depan, saya masih bingung dan panik melihat banyak sekali orang berada di pinggir jalan dan saya mencari-cari motor saya. Ternyata motor saya sudah diamankan Alex (Mentol). Garis wajah Mentol yang juga menggambarkan kepanikan berteriak,”Laptopmu masih di dalam.....!!!!!???,” teriaknya. Saya kembali meloncat ke dalam langsung menuju ruangan kerja mengambil laptop dan tas kerja. Saat hendak keluar dari pintu depan api sudah jatuh dari atas dan menjilat semua ruangan depan sehingga tak bisa dilewati lagi. Saya putuskan lari lewat pintu belakang dan menemui Pak Mila dan Thomas. Saya melihat Thomas dan Pak Mila sudah terbaring di atas rumput tebal di belakang kantor kami. Saya merasa kaki saya menjadi lemah dan tubuh mulai bergetar karena tidak percaya dengan keadaan ini. Sesaatnya lagi saya sadar Jaket dan Helm Standar saya masih tertinggal di dalam. Saya putuskan masuk kembali dan terdengar sayu-sayu Pak Mila mengatakan,”jangan Kriss,”. Tapi saya sudah masuk dan saya berhasil selamatkan jeket dan helm kesayangan saya. Sambil meratap ruangan kerja kami serta melihat ruangan tengah runtuh tanpa terasa air mata saya menetes seiring langkah saya meninggalkan ruangan tengah.
Ketika saya selamat dan sudah berada bersama Pak Mila dan Thomas saya teringat ada draf rencana pertemuan dan foto cover cindera mata yang masih tertinggal di atas meja saya. Semula saya berpikir tidak apa-apa, tetapi kemudian saya putuskan masuk lagi karena di balik draf itu akan ada 1000-an calon pelanggan KR (Kalimantan Review) sebuah media pemberdayaan yang diterbitkan oleh Institut Dayakology tempat dimana saya berkerja. Melihat langkah nekad saya, Pak Mila dan Thomas sempat menarik pergelangan saya melarang saya pergi. Langkah nekad saya tak terbendung, sementara api sudah berkobar di segala penjuru. Saya sempat mengambil satu kursi untuk menutupi kepala saya dan saya berlari kembali menuju ruangan kami. Saat yang bersama ruangan tengah kantor runtuh dan menimpa semua benda di bawahnya. Tetapi saya sempat mengelak sambil meloncat menuju meja di ruangan kami. Saya berhasil mengambil draf dan foto cover di meja saya dan saya kembali menerjang kobaran api sambil memejamkan mata. Pada saat itu juga serta meta ruangan kami (Promosi, Iklan dan Ekspedisi) runtuh seketika sesaat setelah saya berlalu. Akhirnya saya selamat sambil menghelus dada.
Kami bertiga hanya bisa meratapi api-api yang terus berkobar menghabiskan gedung kantor kami dan sesekali api itu menyembur keluar seolah-olah ada kekuatan maha dasyat di dalamnya. Kami melangkah lunglai melewati jalan belakang menuju jalan utama di depan gedung. Setiba di depan saya hanya bisa menahan perih yang mendalam menyaksikan tempat dimana kami berpadu, bekerja dan bersenda gurau bersama telah ludes dilahap si jago merah. Api itu telah menghanguskan hasil penelitian puluhan tahun oleh lembaga kami. Lembaga kami merupakan lembaga penelitian Dayak satu-satunya di dunia ini. Data yang begitu kami banggakan, hasil karya yang selalu kami agung-agungkan telah menjadi abu hanya dalam tempo 15 menit. Api menjalar dengan begitu cepatnya bagaikan kilat. Kami nyaris tak terpikirkan untuk menyelamatkan benda-banda kecuali nyawa. Bukan gedung, laptop atau komputer yang kami tangisi tetapi dokumen, data serta hasil penelitian budaya, arsip KR dan banyak lagi data penting yang tak mungkin lagi dicari di dalam jagad raya ini. Semua musnah seketika, air mata bahkan nyawapun tak cukup untuk membayarnya.
Suara sirene pemadam kebakaran menyiriskan hati. Pemadam tiba setelah kebakaran berlangsung selama 15 menit atau setelah semuanya habis. Kami semua hanya bisa diam, melihat mata semua kawan merah dan lembab pertanda mereka juga menangis. Juga kepanasan dan kepedasan kena asap yang terus mengepul. Entah apa yang ada dalam benak kami saat itu, yang pasti kami sangat kehilangan dan kerugian yang kami derita bukan hanya material tetapi immaterial yang harganya tak ternilai secara duniawi. Demikianlah api telah membakar gedung beserta isi ke empat lembaga yang dianggap sebagai pusat arus informasi. Api bukan hanya meluluh lantakkan gedung dan isinya tetapi juga mematahkan harapan kami yang sedang berjuang. Meski kemudian kami sadari api itu telah gagal menghanguskan semangat kami yang nyalanya jauh lebih besar dari api yang membakar tempat kami.

GUNUI’ (Publish For Private).


Selasa, 04 September 2007

MA di Kantuk Menolak PT BHL

Masuk tanpa kabar masyarakat pun berontak

by Gunui'

Setelah puas menghatam rimba Penyangkak di Tempunak, Sintang, PT BHL (Bukit Hijau Lestari) kini menerobos ke bagian barat. Bahkan kali ini yang menjadi sasaran adalah Hutan Adat Kantuk (hutan lindung wilayat) yang menjadi salah satu hutan lindung di Kabupaten Sintang. Hutan rimba yang masih perawan dan memiliki spesies terlengkap ini sudah beberapa kali menjadi pusat penelitian. Sebut saja, penelitian dari Insitut Pertanian Bogor (IPB), LIPI, Universitas Tanjungpura dan Universitas Kapuas Sintang. Sepertinya potensi alam yang luar biasa ini tidak menghalangi niat pemerintah dan perusahaan untuk menggusurnya. Bahkan menurut salah seorang sumber KR, hutan lindung seluas 350 hektar inilah yang menjadi sasaran utama garapan PT BHL. Hutan yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung ini selama ini dikelola masyarakat adat setempat menurut kearifan lokalnya. Memperhatikan tindakan perusahaan yang secara diam-diam melakukan pengukuran hutan dan tanah adat, masyarakat pun dibuat panik.
Menurut Fransiskus dan Inyut, warga Kantuk Hilir, Tempunak, PT. BHL melakukan sosialisi pada tanggal 12 Mei lalu. Sosialisasi dilakukan di Kampung Peninjau, Desa Tanjung Prada. Beberapa hasil sosialisasi tersebut diantaranya, PT BHL menyatakan diri masuk ke wilayah Kantuk khususnya Desa Tanjung Prada dengan pola kemitraan 7 : 3. Yang berarti bila masyarakat menyerahkan tanah seluas 10 hektar, 7 hektar menjadi milik perusaan dan sisanya 3 hektar dikembalkan ke masyarakat. Fransiskus menambahkan, sosialisasi tersebut dilakukan diam-diam dan hanya diikuti beberapa fungsioanaris desa dan RT. Pertemuan terselubung ini dihadiri sekitar 30-an orang peserta. Celakanya, pertemuan tertutup ini dianggap PT BHL sebagai persetujuan masyarakat atas kehadiran mereka. Hal ini dinyatakan oleh Aji, Sekretaris Badan Perwakilan Desa (BPD) Tanjung Prada. Menurut Aji dalam pertemuan tersebut masyarakat yang tidak hadir dalam pertemuan dianggap setuju. Sementara masyarakat tidak diberitahu sama sekali. ”Kami benar-benar tidak tahu informasi pertemuan tersebut, tiba-tiba mendengar PT akan masuk,” kata Frans.
Dalam pertemuan tertutup tersebut hanya ada beberapa warga biasa yang hadir, diantaranya Inyun, warga Kantuk Hilir. Dalam kesempatan tersebut Inyun sempat menanyakan soal kebakaran. ”Bagaimana jika terjadi kebakaran hutan atau kebun masyarakat akibat api perusahaan?,” tanya Inyun ke pihak perusahaan. Dengan tegas pihak perusahaan melalui bagian humasnya menyatakan bahwa perusahaan tidak bertanggung jawab untuk itu. ”Kami tidak bertanggung jawab atas segala bentuk kebakaran yang terjadi,” kilah bagian Humas PT BHL PT Sawit ini menjajikan berbagai pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Tapi dalam pertemuan ini meski didominasi orang-orang pilihan pihak penerima tetap saja mendapat protes. Ini terbukti dari 30-an peserta yang datang hanya enam orang yang menyatakan setuju yaitu beberapa pejabat desa, BPD dan RT. Sementara ada beberapa RT yang menolak tidak diberi kesempatan bicara. ”Saya mau menyatakan menolak kehadiran BHL tetapi sama sekali tidak diberi kesempatan bicara karena langsung didaulat pokoknya setuju,” keluh Tangkau, Ketua RT Lintang Batang. Dalam kesempatan yang sama orang pertama yang menyatakan setuju atau menerima BHL adalah Makor, Kepala Desa Tanjung Prada. ”Dia tidak mendengar aspirasi kita, dia mementingkan perutnya sendiri. Sudah jelas masyarakat menolak tetapi tanpa basa-basi dia langsung menerima BHL,” kata salah seorang peserta yang enggan disebut namanya.
Menurut informasi yang menyerebak PT BHLbukan hanya masuk di Tanjung Prada tetapi akan menguasai seluruh daerah Kantuk. Adapun wilayah tersebut seperti Peninjau, Lintang Batang, Kantuk Hulu, Kantuk Hilir dan beberapa daerah lain di Kecamatan Tempunak. Khusus pembebasan lahan, PT BHL memberikan ganti rugi sebesar Rp 250.000 per hektar. Angka yang jauh di bawah standar dan angka mati yang berarti sekali warga melepas tanah untuk BHL berarti melepas untuk selamanya. Sementara untuk hutan lindung wilayat yang jadi fokus tidak akan ada ganti rugi sepeserpun. Hal inilah yang kemudian munculkan gejolak. Pada tahun 2005 lalu dinas kehutanan Kabupaten Sintang bersama warga telah mengukur dan menetapkan hutan ini menjadi Hutan Lindung Wilayat. Selain diberi hak mengelola secara arif warga berkewajiban untuk menjaga hutan adat ini dari segala macam ancaman. Tait, warga Kantuk Hulu yang memegang peranan penting dalam proses pengelolaan hutan adat, mengaku belum ada diberitahu sama sekali bila perusahaan akan masuk ke hutan adat mereka. ”Kita menolak secara tegas kehadiran perusahaan sawit, apapun polanya, apalagi bila berani mengusik hutan adat,” tegas Ngaun, warga Kantuk Hulu. Demikian juga yang disampaikan oleh Akong, ketua RT Kantuk Hulu dan Ceruna, tokoh agama Katolik. Menurut mereka tidak ada kompromi untuk sawit dan siapa yang berani mengambil hak masyarakat harus diusir. (Publish in KR, 2007)

PT Alas Kusuma Mengeruhkan Sungai Tekungai dan Serawai

Janji diingkari, sungai dikeruhi dan sekolah dikibuli

by Gunui'

Kesejukan alam di hulu Sungai Serawai masih sangat terasa. Panorama alam yang memikat meniupkan bayu kenyamanan. Kicauan burung-burung rimba seakan enggan melepas mentari pagi yang segarkan rimba raya. Tetapi ketenangan dan keindahan alam ini kian hari kian terusik. Terutama air bening nan jernih yang mengaliri Sungai Tekungai telah berubah layaknya air limbah yang kadar kesehatannya sangat diragukan. Air keruh berwarna kuning bercampur lumpur telah mengganti air pegunungan yang melewati Kampung Batu Bondang (Mentajoi), Nibung Beraya (Bihe) dan Nata Kali (Ponte). Itulah kondisi sehari-hari yang harus diterima warga. Hal itu disebabkan ulah PT Alas Kusuma yang melakukan pengolahan hutan di wilayah Desa Ponte sejak awal 2007.
PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang mulai beroperasi di Kecamatan Serawai khususnya di daerah Merako semenjak tahun 1974 silam. Pada tahun 2007 PT yang berakreditasi perusahaan terbaik versi LEI (lembaga peneliti dampak lingkungan perusahaan kayu) ini mendapat ijin pengolahan HPH baru dari Pemerintrah Daerah Kabupaten Sintang. Ijin HPH kali ini untuk menggarap hutan di Desa Ponte, Kecamatan Serawai dan sekitarnya. Baru beberapa bulan beroperasi PT ini sudah memberi dampak yang luar biasa bagi warga sekitar. Setidaknya ada tiga dusun yang merasakan dampak langsung kehadiran PT ini seperti Batu Bondang, Nibung Beraya dan Natai Kali. Bahkan dampak yang dirasakan bukan hanya persoalan air yang tidak dapat dikonsumsi tetapi juga pengaruh terhadap kehidupan sosial terutama pendidikan.
PT menjajikan jalan, sekolah kelas jauh, bangunan gereja hingga pekerjaan ke masyarakat. Celakanya hingga kini nyaris tidak satupun janji ditepati. Padahal setidaknya sudah 50 ribuan batang kayu sudah diangkut dari lokasi di Ponte. Jumlah ini akan terus bertambah. Sementara janji tinggal janji. Misalnya perencanaan pembangunan sekolah kelas jauh yang semestinya 3 kelas hanya satu kelas. Demikian juga dengan janji lowongan kerja. Atau pembuatan jalan yang diidamkan warga belum ada tanda-tanda sama sekali. Sementera untuk proses operasioanal kerja kini, PT masih menggunakan jalur HPH lama. Jalur tersebut dari Desa Merako Jaya menuju ke Dusun Bondang (Mentajoi). Karena ada jalur ini maka PT tidak perlu membuat jalan baru untuk jalur pengangkutan kayu – kayu hasil tebangan. PT Alas cukup melanjutkan jalan antar kampung yang sudah lama untuk membawa hasil tebangan itu ke Logpond lama di seberang Desa Tontang Kecamatan Serawai, tepi sungai Melawi. Namun dengan memanfaatkan jalur tersebut juga berarti PT Alas bisa beroperasi dengan leluasa di wilayah hutan masyarakat desa Ponte tanpa harus masuk kampung. Padahal dampak yang timbul dirasakan oleh penduduk ketiga kampung ini.
Menurut salah seorang Kepala Dusun setempat yang minta namanya dirahasiakan, jarak lokasi penebangan dari kampung kurang lebih perjalanan satu jam dengan sampan. Meski jarak tebang sudah sedekat itu belum juga ada pihak–pihak perusahaan yang bergabung bersama masyarakat. Karyawan – karyawan logging umumnya memilih untuk tidak masuk atau berkunjung ke kampung. Kecuali di Dusun Mentajoi karena dusun ini memang dilalui oleh truk–truk pengangkut kayu hasil tebangan. Sejak sosialisasi hingga kini hanya sekali pihak PT berinteraksi dengan warga yaitu saat penyampaian janji-janji. ”Satu – satunya kehadiran pihak perusahaan adalah pada saat menyampaikan janji “bantuan” sarana pendidikan dan peribadatan yakni berupa pembangunan sekolah dasar kelas jauh di Dusun Nibung Beraya Bihe dan sebuah bangunan gereja Katolik,” keluh Kadus ini.
Sebagaimana dikisahkan sumber KR tersebut, PT hanya membangun satu ruang kelas pada sekolah dasar jauh. Benar – benar pertukaran yang tidak wajar. Sementara pihak kecamatan dalam pertemuan dengan warga di desa lain selalu mengatakan bahwa pihak PT Alas benar – benar memperhatikan masyarakat dengan mencotohkan Kampung Bihe. Setiap hari PT Alas menebang dan menurunkan kayu dari lereng bukit sungai Tekungai. Sehingga sungai yang menjadi salah satu sumber penghidupan warga nyaris tidak dapat difungsikan lagi. Sungai Tekungai inilah yang menjadi sumber suply air minium dan kegiatan rumah tangga lainnya. Itulah yang dialami salah satu masyarakat adat di pedalaman Serawai, setelah hutan diserahkan dan ditebang masyarakat hanya dapat dampaknya. (Phublish in KR, 2007)