Selasa, 04 September 2007

PT Alas Kusuma Mengeruhkan Sungai Tekungai dan Serawai

Janji diingkari, sungai dikeruhi dan sekolah dikibuli

by Gunui'

Kesejukan alam di hulu Sungai Serawai masih sangat terasa. Panorama alam yang memikat meniupkan bayu kenyamanan. Kicauan burung-burung rimba seakan enggan melepas mentari pagi yang segarkan rimba raya. Tetapi ketenangan dan keindahan alam ini kian hari kian terusik. Terutama air bening nan jernih yang mengaliri Sungai Tekungai telah berubah layaknya air limbah yang kadar kesehatannya sangat diragukan. Air keruh berwarna kuning bercampur lumpur telah mengganti air pegunungan yang melewati Kampung Batu Bondang (Mentajoi), Nibung Beraya (Bihe) dan Nata Kali (Ponte). Itulah kondisi sehari-hari yang harus diterima warga. Hal itu disebabkan ulah PT Alas Kusuma yang melakukan pengolahan hutan di wilayah Desa Ponte sejak awal 2007.
PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang mulai beroperasi di Kecamatan Serawai khususnya di daerah Merako semenjak tahun 1974 silam. Pada tahun 2007 PT yang berakreditasi perusahaan terbaik versi LEI (lembaga peneliti dampak lingkungan perusahaan kayu) ini mendapat ijin pengolahan HPH baru dari Pemerintrah Daerah Kabupaten Sintang. Ijin HPH kali ini untuk menggarap hutan di Desa Ponte, Kecamatan Serawai dan sekitarnya. Baru beberapa bulan beroperasi PT ini sudah memberi dampak yang luar biasa bagi warga sekitar. Setidaknya ada tiga dusun yang merasakan dampak langsung kehadiran PT ini seperti Batu Bondang, Nibung Beraya dan Natai Kali. Bahkan dampak yang dirasakan bukan hanya persoalan air yang tidak dapat dikonsumsi tetapi juga pengaruh terhadap kehidupan sosial terutama pendidikan.
PT menjajikan jalan, sekolah kelas jauh, bangunan gereja hingga pekerjaan ke masyarakat. Celakanya hingga kini nyaris tidak satupun janji ditepati. Padahal setidaknya sudah 50 ribuan batang kayu sudah diangkut dari lokasi di Ponte. Jumlah ini akan terus bertambah. Sementara janji tinggal janji. Misalnya perencanaan pembangunan sekolah kelas jauh yang semestinya 3 kelas hanya satu kelas. Demikian juga dengan janji lowongan kerja. Atau pembuatan jalan yang diidamkan warga belum ada tanda-tanda sama sekali. Sementera untuk proses operasioanal kerja kini, PT masih menggunakan jalur HPH lama. Jalur tersebut dari Desa Merako Jaya menuju ke Dusun Bondang (Mentajoi). Karena ada jalur ini maka PT tidak perlu membuat jalan baru untuk jalur pengangkutan kayu – kayu hasil tebangan. PT Alas cukup melanjutkan jalan antar kampung yang sudah lama untuk membawa hasil tebangan itu ke Logpond lama di seberang Desa Tontang Kecamatan Serawai, tepi sungai Melawi. Namun dengan memanfaatkan jalur tersebut juga berarti PT Alas bisa beroperasi dengan leluasa di wilayah hutan masyarakat desa Ponte tanpa harus masuk kampung. Padahal dampak yang timbul dirasakan oleh penduduk ketiga kampung ini.
Menurut salah seorang Kepala Dusun setempat yang minta namanya dirahasiakan, jarak lokasi penebangan dari kampung kurang lebih perjalanan satu jam dengan sampan. Meski jarak tebang sudah sedekat itu belum juga ada pihak–pihak perusahaan yang bergabung bersama masyarakat. Karyawan – karyawan logging umumnya memilih untuk tidak masuk atau berkunjung ke kampung. Kecuali di Dusun Mentajoi karena dusun ini memang dilalui oleh truk–truk pengangkut kayu hasil tebangan. Sejak sosialisasi hingga kini hanya sekali pihak PT berinteraksi dengan warga yaitu saat penyampaian janji-janji. ”Satu – satunya kehadiran pihak perusahaan adalah pada saat menyampaikan janji “bantuan” sarana pendidikan dan peribadatan yakni berupa pembangunan sekolah dasar kelas jauh di Dusun Nibung Beraya Bihe dan sebuah bangunan gereja Katolik,” keluh Kadus ini.
Sebagaimana dikisahkan sumber KR tersebut, PT hanya membangun satu ruang kelas pada sekolah dasar jauh. Benar – benar pertukaran yang tidak wajar. Sementara pihak kecamatan dalam pertemuan dengan warga di desa lain selalu mengatakan bahwa pihak PT Alas benar – benar memperhatikan masyarakat dengan mencotohkan Kampung Bihe. Setiap hari PT Alas menebang dan menurunkan kayu dari lereng bukit sungai Tekungai. Sehingga sungai yang menjadi salah satu sumber penghidupan warga nyaris tidak dapat difungsikan lagi. Sungai Tekungai inilah yang menjadi sumber suply air minium dan kegiatan rumah tangga lainnya. Itulah yang dialami salah satu masyarakat adat di pedalaman Serawai, setelah hutan diserahkan dan ditebang masyarakat hanya dapat dampaknya. (Phublish in KR, 2007)