Selasa, 04 September 2007

MA di Kantuk Menolak PT BHL

Masuk tanpa kabar masyarakat pun berontak

by Gunui'

Setelah puas menghatam rimba Penyangkak di Tempunak, Sintang, PT BHL (Bukit Hijau Lestari) kini menerobos ke bagian barat. Bahkan kali ini yang menjadi sasaran adalah Hutan Adat Kantuk (hutan lindung wilayat) yang menjadi salah satu hutan lindung di Kabupaten Sintang. Hutan rimba yang masih perawan dan memiliki spesies terlengkap ini sudah beberapa kali menjadi pusat penelitian. Sebut saja, penelitian dari Insitut Pertanian Bogor (IPB), LIPI, Universitas Tanjungpura dan Universitas Kapuas Sintang. Sepertinya potensi alam yang luar biasa ini tidak menghalangi niat pemerintah dan perusahaan untuk menggusurnya. Bahkan menurut salah seorang sumber KR, hutan lindung seluas 350 hektar inilah yang menjadi sasaran utama garapan PT BHL. Hutan yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung ini selama ini dikelola masyarakat adat setempat menurut kearifan lokalnya. Memperhatikan tindakan perusahaan yang secara diam-diam melakukan pengukuran hutan dan tanah adat, masyarakat pun dibuat panik.
Menurut Fransiskus dan Inyut, warga Kantuk Hilir, Tempunak, PT. BHL melakukan sosialisi pada tanggal 12 Mei lalu. Sosialisasi dilakukan di Kampung Peninjau, Desa Tanjung Prada. Beberapa hasil sosialisasi tersebut diantaranya, PT BHL menyatakan diri masuk ke wilayah Kantuk khususnya Desa Tanjung Prada dengan pola kemitraan 7 : 3. Yang berarti bila masyarakat menyerahkan tanah seluas 10 hektar, 7 hektar menjadi milik perusaan dan sisanya 3 hektar dikembalkan ke masyarakat. Fransiskus menambahkan, sosialisasi tersebut dilakukan diam-diam dan hanya diikuti beberapa fungsioanaris desa dan RT. Pertemuan terselubung ini dihadiri sekitar 30-an orang peserta. Celakanya, pertemuan tertutup ini dianggap PT BHL sebagai persetujuan masyarakat atas kehadiran mereka. Hal ini dinyatakan oleh Aji, Sekretaris Badan Perwakilan Desa (BPD) Tanjung Prada. Menurut Aji dalam pertemuan tersebut masyarakat yang tidak hadir dalam pertemuan dianggap setuju. Sementara masyarakat tidak diberitahu sama sekali. ”Kami benar-benar tidak tahu informasi pertemuan tersebut, tiba-tiba mendengar PT akan masuk,” kata Frans.
Dalam pertemuan tertutup tersebut hanya ada beberapa warga biasa yang hadir, diantaranya Inyun, warga Kantuk Hilir. Dalam kesempatan tersebut Inyun sempat menanyakan soal kebakaran. ”Bagaimana jika terjadi kebakaran hutan atau kebun masyarakat akibat api perusahaan?,” tanya Inyun ke pihak perusahaan. Dengan tegas pihak perusahaan melalui bagian humasnya menyatakan bahwa perusahaan tidak bertanggung jawab untuk itu. ”Kami tidak bertanggung jawab atas segala bentuk kebakaran yang terjadi,” kilah bagian Humas PT BHL PT Sawit ini menjajikan berbagai pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Tapi dalam pertemuan ini meski didominasi orang-orang pilihan pihak penerima tetap saja mendapat protes. Ini terbukti dari 30-an peserta yang datang hanya enam orang yang menyatakan setuju yaitu beberapa pejabat desa, BPD dan RT. Sementara ada beberapa RT yang menolak tidak diberi kesempatan bicara. ”Saya mau menyatakan menolak kehadiran BHL tetapi sama sekali tidak diberi kesempatan bicara karena langsung didaulat pokoknya setuju,” keluh Tangkau, Ketua RT Lintang Batang. Dalam kesempatan yang sama orang pertama yang menyatakan setuju atau menerima BHL adalah Makor, Kepala Desa Tanjung Prada. ”Dia tidak mendengar aspirasi kita, dia mementingkan perutnya sendiri. Sudah jelas masyarakat menolak tetapi tanpa basa-basi dia langsung menerima BHL,” kata salah seorang peserta yang enggan disebut namanya.
Menurut informasi yang menyerebak PT BHLbukan hanya masuk di Tanjung Prada tetapi akan menguasai seluruh daerah Kantuk. Adapun wilayah tersebut seperti Peninjau, Lintang Batang, Kantuk Hulu, Kantuk Hilir dan beberapa daerah lain di Kecamatan Tempunak. Khusus pembebasan lahan, PT BHL memberikan ganti rugi sebesar Rp 250.000 per hektar. Angka yang jauh di bawah standar dan angka mati yang berarti sekali warga melepas tanah untuk BHL berarti melepas untuk selamanya. Sementara untuk hutan lindung wilayat yang jadi fokus tidak akan ada ganti rugi sepeserpun. Hal inilah yang kemudian munculkan gejolak. Pada tahun 2005 lalu dinas kehutanan Kabupaten Sintang bersama warga telah mengukur dan menetapkan hutan ini menjadi Hutan Lindung Wilayat. Selain diberi hak mengelola secara arif warga berkewajiban untuk menjaga hutan adat ini dari segala macam ancaman. Tait, warga Kantuk Hulu yang memegang peranan penting dalam proses pengelolaan hutan adat, mengaku belum ada diberitahu sama sekali bila perusahaan akan masuk ke hutan adat mereka. ”Kita menolak secara tegas kehadiran perusahaan sawit, apapun polanya, apalagi bila berani mengusik hutan adat,” tegas Ngaun, warga Kantuk Hulu. Demikian juga yang disampaikan oleh Akong, ketua RT Kantuk Hulu dan Ceruna, tokoh agama Katolik. Menurut mereka tidak ada kompromi untuk sawit dan siapa yang berani mengambil hak masyarakat harus diusir. (Publish in KR, 2007)